Setelah serangan udara Israel terhadap Iran pada Sabtu pagi (26/10), banyak warga Iran menumpahkan rasa frustrasi mereka di media sosial. Serangan ini dilakukan oleh Israel sebagai balasan atas serangan Iran terhadap Israel di awal bulan.
Iran sebelumnya telah menghadapi krisis ekonomi yang cukup parah. Platform berita IranWire, yang dikelola oleh jurnalis Iran di pengasingan, melaporkan bahwa mata uang nasional Iran, real, merosot akibat ketegangan dengan Israel.
Kekhawatiran akan pecahnya perang regional memicu penurunan nilai tukar dolar yang sangat tajam. Selain itu, inflasi meningkat hingga 33% pada tahun lalu, dan harga-harga diperkirakan akan terus naik signifikan.
Menurut anggota parlemen Iran, tingkat kemiskinan di negara itu meningkat selama lima tahun terakhir, di mana sepertiga penduduk kesulitan memenuhi kebutuhan dasar dengan pendapatan mereka.
Di sisi lain, para investor mencoba menjual aset mereka di Bursa Efek Teheran, menyebabkan terhentinya transaksi besar karena banyak yang menunggu arah konflik.
Beberapa warga Iran menilai ekonomi negara mereka runtuh akibat dukungan pemerintah kepada Hizbullah dan Hamas. Milisi Hizbullah memiliki hubungan erat dengan pemerintah Iran, sementara Hamas, penguasa Jalur Gaza, dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh Jerman, Amerika Serikat, dan negara-negara lain.
Saluran berita Iran berbasis di London, Iran International, melaporkan bahwa sebagian warga Iran menuding pemerintah lebih berfokus pada konflik luar negeri ketimbang mengatasi persoalan dalam negeri yang mendesak.
Perbedaan antara narasi pemerintah dan situasi di lapangan dapat berdampak besar pada stabilitas dalam negeri, terutama jika ketegangan militer semakin meningkat.
Menurut Reporters Without Borders, Iran dikenal sebagai "salah satu negara paling represif terhadap kebebasan pers." Penyensoran semakin diperketat pasca serangan Israel.
Seorang jurnalis di Teheran yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan, "tidak ada yang bisa ditulis. Media tidak berani menulis apa pun selain posisi resmi." Pers bahkan dilarang memposting di akun media sosial pribadi.
Pakar media Iran, Babak Dorbeiki, mengkritik pembatasan media independen setelah serangan Israel. Dorbeiki adalah mantan kepala Pusat Hubungan Masyarakat dan Informasi di Kementerian Kebudayaan selama pemerintahan Presiden Hassan Rouhani (2013-2021).
Di media sosial, warga menggunakan VPN untuk menghindari pembatasan internet. Di sana, mereka mengungkapkan kemarahan kepada pemerintah dan mempertanyakan mengapa mereka tidak diberi peringatan terkait serangan, serta mengungkapkan kekhawatiran akan kurangnya tempat berlindung jika negara tersebut menuju perang.
Beberapa pihak menilai meningkatnya konflik militer dengan Israel disebabkan oleh langkah-langkah yang dinilai sembrono oleh Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei dan Garda Revolusi.
Platform berita independen IranWire melaporkan, "komentar antisemit di media sosial dan situs web Persia mencapai sekitar 61.000 postingan pada bulan September."
Jumlah ini naik 98 persen dibandingkan Agustus, dan saluran resmi serta semi-resmi menjadi "pihak yang menyebarkan materi antisemit ini."
Namun, tidak seperti di beberapa negara Arab, upaya pemerintah memicu sentimen anti-Israel dan antisemit tidak menyebabkan protes anti-Israel di Iran.
Di Mesir, Yordania, Maroko, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Irak, ribuan orang turun ke jalan menentang perang Israel melawan Hamas di Jalur Gaza, yang merupakan respons atas serangan Hamas di Israel pada 7 Oktober 2023.
"Rakyat Iran tidak menginginkan perang dengan Israel... (dan) tidak memiliki kebencian terhadap Israel," kata sejarawan Arash Azizi, seorang peneliti di New York University yang meneliti Iran, sebagaimana dikutip dalam Majalah The Atlantic.
Reaksi warga Iran di media sosial setelah serangan Sabtu juga menunjukkan bahwa mereka tidak menginginkan konflik dengan Israel karena khawatir pecahnya perang regional. Kritik terhadap rezim memperkirakan bahwa perang dengan Israel hanya akan memperburuk penindasan terhadap rakyat Iran.
"Perang akan memperparah penindasan terhadap pihak oposisi, ini tidak akan membantu demokrasi di Iran," kata Nazila Golestan, tokoh oposisi yang berbasis di Paris, kepada DW, sebagaimana dikutip oleh detik.com.